-->

Sabtu, April 04, 2015

CARA SELINGKUH PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH


Mengutip pernyataan mantan presiden Amerika Serikat George W Bush bahwa   mati hidupnya sebuah organisasi banyak di tentukan oleh faktor keuangan. 
 
Pernyataan ini menyiratkan arti pentingnya aspek financial dalam membangun sebuah organisasi yang kuat, dan begitu halnya bagi pemerintah daerah sebagai sebuah organisasi yang besar menempatkan posisi pengelolaan keuangan daerah sebagai tulang punggung dalam membangun tatanan pemerintahan yang kuat.  

Selingkuh Anggaran

Banyak cara pun di lakukan dalam oleh setiap pemegang otoritas keuangan daerah dalam menaikkan pagu dana alokasi umum yang salah satunya dengan melakukan proses lobi pada kementerian keuangan maupun melalui komisi anggaran DPR RI. 

Untuk yang terakhir ini merupakan isu sentral yang masih perlu di buktikan lebih jauh  oleh lembaga super power KPK.

Namun tidak terlepas dari pada proses lobi tersebut, di lingkungan internal pemerintah daerah sendiri pada proses pengelolaan keuangan daerah sering melakukan lobi, utamanya dari SKPD yang melakukan lobi pada tim anggaran eksekutif maupun komisi anggaran DPRD entah itu secara terang-terangan, kucing-kucingan, petak umpet dan sejenisnya.  

Wajar dan cukup beralasan jika hal tersebut di lakukan mengingat operasional  rutin  SKPD  seperti membayar listrik, gaji tenaga honorer, gaji supir, biaya air  dsb akan menggunakan dana yang bersumber dari APBD. 

Namun upaya lobi atau apapun istilahnya yang banyak dilakukan oleh SKPD pada kenyataannya tidak dalam rangka untuk sekedar menutup semua pengeluaran rutin SKPD sebagaimana di kemukakan tadi (tidak di lobi pun pasti akan dapat)  namun lebih pada upaya menggolkan program/kegiatan yang di usulkan beserta besaran nilai rupiah yang dibutuhkan guna melaksanakan program/kegiatan di maksud.

Disinilah kerap kali seorang kepala SKPD harus kecewa terkadang menelan pil pahit jika program/kegiatan yang di usulkan akan di kurangi atau bahkan di hilangkan pada tingkat tim anggaran eksekutif. 

Kalaupun suatu program/kegiatan akan di pertahankan dengan sejumlah dalih rasional atau berkat hasil lobi pada element-element kunci yang terkait penentuan anggaran maka biasanya besaran nilai rupiahnya yang di kurangi. 
Alasan klasik bahwa kemampuan keuangan daerah cukup terbatas adalah senjata yang cukup ampuh untuk menghilangkan sejumlah program/kegiatan yang di usulkan SKPD.

Kejanggalan Pengelolaan Keuangan Daerah

Sebenarnya tidak ada permasalahan dengan hal ini, namun cukup rancu, janggal dan aneh bagi saya dan kenyataan ini berlaku di hampir semua pemerintah daerah.  

Letak kejanggalannya ada dalam pengelolaan keuangan daerah itu. Bahwa tampak penentuan besar kecilnya anggaran program/kegiatan yang misalnya ketika di usulkan setelah proses hitung-hitungan   Rp. 100 juta maka bisa saja akan turun menjadi 50 juta atau kurang dari itu. 

Alasan keterbatasan kemampuan keuangan daerah, skala prioritaslah  adalah senjata ampuh untuk menjawab sekiranya ada SKPD yang mempertanyakan. 

Kesannya yang nampak adalah subyektifitas tanpa mampu di buktikan kenapa program/kegiatan harus di hilangkan atau mungkin kenapa anggarannya harus kurangi. 

Sekiranya program/kegiatan yang diusulkan begitu sangat penting untuk kepentingan masyarakat dan kemudian di hilangkan tentu akan memberikan efek yang tak terduga di kemudian hari. 

Kesan lain bahwa factor kepentingan yang kuat baik secara kelembagaan atau pribadi hadir dan terlibat dalam penentuan besar kecilnya anggaran pada hal uang yang mau di gunakan adalah uang rakyat.

Apapun alasan yang di sampaikan secara lisan belumlah cukup untuk membenarkan tindakan penghilangan program/kegiatan atau pengurangan anggaran karena benar tidaknya alasan yang di sampaikan hanya pihak yang menyampaikan yang tahu kebenarannya. 

Kalau begitu salah siapa sehinga praktek-praktek demikian itu terjadi, mungkinkah kesalahan penempatan aparatur perencanaan yang masih kurang memahami filosofi keuangan, mungkinkah kesalahan sistem pengelolaan keuangan daerah yang kurang memberikan daya dukung dalam proses perencanaan keuangan, atau mungkin juga ketidaktahuan dari pemegang otoritas keuangan daerah ?   

Apa solusinya ?

Buat Standar Pagu Indikatif SKPD

Mengatasi permasalahan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana telah diuraikan panjang lebar sebelumnya maka seyogyanya tim anggaran eksekutif atau komisi anggaran DPRD harus memiliki standar acuan  (bukan rencana strategis) berbentuk skala prioritas  yang telah melalui proses penggondokan secara ilmiah  sehingga akan menjauhkan dari tafsir subyektifitas atau adanya faktor kepentingan. 
Adapun untuk penentuan besar kecilnya anggaran belanja tidak langsung atau belanja langsung (program/kegiatan) harus ada acuan yang di buat berdasarkan pendekatan ilmiah seperti misal tabel input-output ataupun pendekatan pagu indikatif berbasis s kenario variabel, serapan anggaran, Lakip, skala prioritas program sehingga tidak menampakkan kesan adanya selingkuh anggaran atau apapun namanya. 

Jadi pada intinya tidak bisa seenaknya mengurangi anggaran atau bahkan menghilangkan sama sekali atas dasar kewenangan, kekuasaan yang di miliki, uraian tugas yang di emban, atau atas perintah atasan, intruksi bupati/sekda, usulan anggota DPRD dsb.  

Setiap 1 sen rupiah yang di keluarkan pemerintah daerah harus jelas manfaat yang timbul akibat pengeluaran tersebut terutama kepada masyarakat selaku pemilik uang. 

Namun sayangnya sampai saat ini pendekatan-pendekatan terukur dalam pengelolaan keuangan daerah masih belum di praktekkan, rumusan yang tepat dalam menghitung nilai pagu indikatif SKPD  belum ada baik dtingkat regulasi (undang-undang, PP dan turunannya). 


Namun bukan keniscayaan untuk dapat di formulasikan secara kongkrit, perlu ekstra berpikir keras di luar batas-batas kemampuan manusia normal untuk meramu formula penentuan pagu indikatif dan itu merupakan pekerjaan berat bagi tim anggaran pemerintah daerah di semua level pemerintahan daerah sehingga akan menghilangkan kesan “bagi-bagi uang”  (accountabilitas) 
Bagikan artikel ini