-->

Minggu, Oktober 16, 2016

FAKTA UNIK DUNIA KARIR ASN

FAKTA UNIK DUNIA KARIR ASN Teringat sebait lirik lagu Ada apa denganmu  yang dipopulerkan oleh grup music peterphan asal kota kembang Bandung di mana sempat pula menduduki rating tertinggi dalam industri musik Indonesia. Lirik lagu tersebut mungkin dapat di alamatkan bagi seseorang yang akan, sedang maupun sudah tamat karirnya di dunia ASN. 

Pembaca, ada fenomena unik yang setiap tahunnya kita tonton dan marak terjadi yakni soal selalu membludaknya pemburu kerja mendaftar sebagai ASN.  

Sebenarnya ada apa dengan dunia ASN hingga begitu menarik diperebutkan?  

Rebutan Jadi ASN

Tak ditabukan, daya tarik  pekerjaan sebagai ASN sangat begitu luar biasa beredar luas di masyarakat, apalagi kalau bukan   iming-iming terjaminnya masa tua.  

Terus terang belum pernah saya secara pribadi mendengar motivasi di luar akan jaminan hari tua tersebut, sehingga saya berani menyimpulkan bahwa faktor uanglah yang menjadi   daya tarik utama para  pemburu  kerja. 

Pun ada benarnya, sepatah  adegium usang juga mengatakan uang bukan segala-galanya namun segala-galanya butuh uang. Sangat mustahil anda membeli sesuatu hanya bermodal daun mangga yang di cap "Rp".

Pembaca, masyarakat tidak cuma memandang jalur asn adalah satu-satunya jalan teraman untuk mencapai kesejahteraan, namun menjadi asn dianggap juga mampu memberikan stempel status  sosial lebih tinggi, takarannya dapat dilihat di pesta kalau duduk di pesta harus di bagian depan. 

Bahkan hal itu di perkuat oleh pernyataan walikota kota kotamobagu pada satu kesempatan pesta pernikahan di kelurahan mogolaing  di keluarga Drs. Hasan Mamonto, yang intinya protokoler tempat duduk seorang pejabat pada hajat masyarakat, porsi tempat duduknya adalah di bagian depan. 

Apa alasannya ?
 
Ironis memang, jika  urusan pekerjaan di campur-adukan dengan hak individu selaku pemilik hajat. Begitu dalamnya campur tangan kepala daerah hingga  ke urusan tempat duduk segala maka memberi indikasi kuat kepala daerah itu ingin dihormati jidatnya.  

Ini dapat ditafsirkan gaya kepemimpinan otoriter, yang  cuma banyak dipraktekkan di jaman kerajaan. 
 
ASN Takut Non Job

Persoalan utamanya adalah jika seorang pemimpin mengembangkan dan mempertahankan cara-cara yang berkesan otoriter seperti itu dalam pemerintahannya  maka akan mematikan daya kreativitas seorang ASN.

ASN menjadi  takut untuk menyampaikan pendapat, takut kena semprot pimpinan yang mungkin  akan berujung  non job. Itu berarti hilangnya pendapatan berupa tunjangan dan lain sebagainya bagi dirinya. 

Artikel Lain
Gerombolan Pejabat Pas-pasan  Pantat Ditendang
 

Berkaca pada pengalaman saya selama  berkarir 21 tahun sebagai ASN, banyak hal positif maupun negatif sudah saya lalui, mulai dari membangun kerjasama antar rekan sejawat maupun pihak ketiga, perdebatan sesama rekan kerja dalam berbagai level tingkatan jabatan yang terkadang itu diselipi saling baku  ancam. 

Non job sebagai bagian dari konsekwensi berkarir di PNS sudah pernah saya rasakan betapa pahitnya. Bagamana tidak ? Coba anda bayangkan  pergi ke kantor tapi tempat duduk kerjanya tidak tahu di mana, belum lagi soal mau kerja apa.

      
Terkait itu, mayoritas ASN sangat takut sekali dengan ancaman  Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.  Apalagi peraturan ini terkadang dijadikan tameng pula untuk menonjobkan seorang ASN dari jabatannya.


Artikel Lain
Dosis Tepat Mutasi Jabatan

Ini juga menjadi salah satu pemicu mengapa ide-ide ASN kurang muncul ke permukaan. Kalau pun ada, selalu dihubung-hubungankan dengan untung ruginya dari sisi ekonomi oleh pengambil kebijakan.  

Belum lagi soal ASN  yang kehilangan haknya akibat praktek-praktek yang tidak wajar kalau tidak mau dibilang "dirampok" karena  kebijakan sepihak pimpinan maka hampir mustahil juga ada ASN bak kapten amerika yang berani melakukan protes.

Kumpulan masalah-masalah seperti itu merupakan sebuah pengalaman pribadi saya sehingga  suatu waktu pernah terpikirkan bahwa pensiun dini  adalah alternatif terbaik, namun di sisi lain kalaupun saya resign lebih awal bagaimana saya memberikan sumbang saran bagi pembangunan daerah sekiranya jauh dari pengambil kebijakan. 

Pembaca, memang patut diakui butuh komitmen kuat memang untuk membangun tatanan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Semua itu berpulang kembali  ke kepala daerahnya, mau tidak menjadi suri teladan yang baik bagi masyarakat luas. 
Bagikan artikel ini