Rabu,
27 Juli 2016 Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet kerjanya untuk kedua kali. Ada yang
menarik dari perombakan jilid 2 kali
ini, dari 13 menteri baru yang dilantik tersebut, ternyata tidak semuanya wajah
baru, namun masih terdapat juga wajah lama stok masa lalu.
Salah satunya adalah
Sri Mulyani Indrawati yang dipercayakan untuk menduduki posisi menteri keuangan
menggantikan Bambang Brodjonegoro.
Para
analis politik, sebagian besar mengganggap penggantian sejumlah menteri ini
merupakan bagian dari politik balas budi
Jokowi-JK pasca bergabungnya partai golkar dan PAN dengan pemerintah.
Mungkin
ada benarnya persepsi demikian itu tapi tidak sepenuhnya benar, karena terdapat
beberapa menteri justru berlatar belakang profesional bukan politisi murni semisal
menteri keuangan Sri Mulyani ini.
Keraguan Presiden Jokowi
Muncul
pertanyaan di publik, mengapa Sri Mulyani harus diundang lagi menjabat menteri keuangan RI, padahal
saat era pemerintahan SBY sepak terjangnya tergolong ngeri-ngeri sedap dan
membuat gerah publik.
Coba ingat-ingat lagi kebijakan bail out bank century kala
itu begitu hangat dan panas dibicarakan, saking panasnya perkara ini sampai-sampai dianggap
menjadi trending topik yang paling heboh
dan lama dibicarakan kalangan penggila
media sosial.
Baca juga
Mungkinkah
kinerja menteri keuangan sebelumnya kurang cukup memuaskan presiden Jokowi
hingga dianggap pantas untuk digeser sedikit posisi Bambang Brodjonegoro ke
Kepala Bappenas?
Perkara yang terakhir ini patut diakui memang demikian adanya,
kinerja kementerian keuangan RI dibawah besutan Bambang Brodjonegoro terasa
kurang greget.
Semisal soal capaian target pajak sebesar 1.490 triliun tahun
2015 yang tidak bisa dipenuhi, kemudian pergerakan liar nilai tukar dollar terhadap
rupiah yang acap kali hampir menyentuh titik psikologis, defisit APBN yang
masih berkisar di angka 2 persen dari PDB dan terakhir soal asumsi pertumbuhan
ekonomi nasional yang kerap meleset sehingga harus direvisi beberapa kali.
Saya
bisa memahami kekhawatiran presiden
Jokowi soal undang-undang tax amnesty yang diperkirakan juga sulit dilaksanakan oleh menteri keuangan yang lama paska disetujui DPR RI 28
Juni lalu.
Masalahnya, negara akan
kehilangan potensi penerimaan sektor pajak kurang lebih 150 triliun dari total
3000 triliun dana yang terparkir di luar negari, jika gagal mengeksekusi
kebijakan ini.
Pertanyaannya, mampukah
Sri Mulyani melakoni dengan baik skenario yang dirancang pemerintah seperti itu
?
Dengan latar belakang menyandang predikat orang nomor dua di struktur
petinggi bank dunia yang menjabat direktur pelaksana seharusnya pekerjaan
menambah pundi-pundi penerimaan negara sektor pajak cukup mudah. Urusan target
penerimaan pajak negara itu tercapai atau tidak itu soal lain lagi.
Namun
saya kurang percaya skenario pengampunan
pajak (tax amnesty) itu akan berjalan mulus, sesuai hitung-hitungan di atas kertas.
Pasalnya,
kebijakan serupa yang diberi judul sunset policy sudah tiga kali dilaksanakan yakni tahun 1964, 1984 dan terakhir 2008, dan
hasilnya pun tidak menggembirakan. Sebagai contoh di tahun 2008, dari target
pemerintah 60 triliun yang bisa diwujudkan cuma di angka 8 triliun.
Perluasan pajak pengampunan
Bahwa
mengingat target pajak sebesar 1.547
triliun tahun 2016 saya pesimis,
undang-undang tax amnesty bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi penerimaan sektor pajak.
Akar
masalahnya, poin-poin penting undang-undang
pengampunan pajak cuma menyasar pada soal subyek pajak yang terkena
sanksi pidana perpajakan PPh, PPn, termasuk soal repatriasi harta dengan
sejumlah uang tebusan.
Menarik
dikemukakan pelaku pidana khusus dan pidana umum sepertinya belum dilirik oleh
pemerintah untuk dijadikan alternatif baru sumber penerimaan negara.
Belakangan
kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) ini pun menuai gugatan ke mahkamah konstitusi dari
yayasan satu keadilan karena dinilai tidak adil.
Harusnya, pemerintah perlu bersikap
adil tidak hanya pengemplang pajak yang diberi ampunan namun koruptor, pelaku illegal logging, maupun illegal
fishing pun harus mendapat perlakuan serupa.
Alasannya, pertama pengemplang pajak yang tidak melaporkan
hartanya kemudian mendapat ampunan dari pemerintah kedudukannya sebetulnya setara
dengan pelaku korupsi, illegal logging maupun illegal fishing.
Bukankah semuanya bermuara yang sama untuk memperkaya diri sendiri. Alasan kedua agar ruang gerak pemasukan sektor perpajakan bisa lebih luas dan longgar
sehingga bisa dipastikan target penerimaan pajak 1.547 triliun bisa diraih.
Sekiranya,
ini dapat dilaksanakan kemungkinan terdekat akan mendapat protes keras pakar hukum, kenapa bisa ada koruptor yang diampuni sehingga dianggap preseden buruk dalam
penegakan hukum di Indonesia.
Akan tetapi
perekonomian nasional harus tumbuh cepat, berkualitas dan itu butuh modal
investasi yang tidak sedikit.
Kolaborasi modal yang cukup dengan ditopang
semakin membaiknya perekonomian dunia (AS dan China) saat ini maka ikhtiar
mengejar target pertumbuhan ekonomi nasional 5,4 persen tidak mustahil akan
dapat dicapai.
Bonus ke sektor non keuangan pun diperkirakan akan kena getahnya
juga walau tidak begitu banyak seperti di sektor keuangan dan jasa keuangan.
Akhirnya,
sudah saatnya ada langkah berani dari pemerintah khususnya presiden Jokowi
untuk merubah, mengembangkan dan merekayasa sedikit pola penerimaan keuangan
negara berbasis kewenangan yudikatif yang dimilikinya.
Cara ini mungkin agak
janggal, tapi tak dapat disangkal itu hak preogratif presiden yang diakui
konstitusi.
Baca juga presiden jokowi tidak malu