-->

Jumat, Oktober 09, 2015

MENGUJI HASIL KERJA WALIKOTA

"hasil kerja walikota kotamobagu"
Tepat 22 September 2015 lalu, pemerintahan yang di pimpin Ir Tatong Bara dan Drs Djainudin Damopolii genap berusia 2 tahun yang dirayakan salah satunya lewat zikir bersama  dan kegiatan Bulan Bakti Gotong Royong di bilangan kelurahan Molinow.   Bagi saya  hal itu biasa-biasa saja karena terus terang banyak cara  yang menjadi pilihan Wallikota Kotamobagu dalam merayakan usia 2 tahun pemerintahan yang dipimpinnya.    
 
Tidak terlepas dari perayaan itu, ada dua hal menarik yang dapat menjadi buah pemikiran kita bersama yakni apa saja yang telah dilakukan oleh walikota terpilih dalam 2 tahun kepemimpinannya dan sejauh mana kemajuan visi kota model jasa telah  dicapai ?
 
Dua soal ujian  yang terlontar  itu memang berkesan sederhana dan jauh dari balutan akademis sebagaimana berlaku pada forum tanya jawab di sebuah seminar.   
 
Dan untuk menjawabnya, maka perlu ditelisik ke belakang jejak-jejak kerja Pemerintah Kota Kotamobagu secara utuh dan menyeluruh di dua tahun terakhir.  Sekedar bernostalgia, di awal  terpilihnya Ir. Tatong Bara dan Drs. Djainudin Damopolii untuk memimpin   Kotamobagu 5 tahun ke depan, mereka disambut dengan euphoria gegap gempita.  
 
Optimisme di masa walikota sebelumnya yang hampir meredup, secara alami menyeruak lagi ke permukaan. 
 
Harapan baru pun terbentang di depan mata sejalan dilantiknya    Ir Tatong Bara dan Drs Djainudin Damopolii September 2013 lalu.  Aura harapan itu sebenarnya masih ada di sisa pemerintahan TB-JaDi yang tidak lebih seumur jagung lagi akan berakhir, dengan menguji hasil kerja yang telah dilakukan dua tahun terakhir.  
 
Artikel lain  "walikota merasa malu".  
 
Soal Ujian Pertama
 
Apa   saja yang telah dilakukan oleh Walikota Kotamobagu dalam 2 tahun kepemimpinannya ?.  Patut di akui kerja-kerja pemerintahan Kotamobagu dua tahun belakangan  tak banyak diketahui khalayak ramai.  
 
Sekalipun di ketahui, Masih bisa di hitung dengan jari, prestasi apa saja yang telah ditorehkan pemerintah Kota Kotamobagu dan jajarannya kebawah.   
 
Mendapat predikat WTP dari BPK, Kelurahan Mogolaing mendapat penghargaan kelurahan teladan tingkat nasional, Penghargaan MDGs award target 5B atas keberhasilan menurunkan tingkat kematian ibu dan anak dari BKKBN Pusat.
 
Tidak itu saja, prestasi lainnya adalah penghargaan puskesmas Gogagoman sebagai Puskesmas berprestasi tingkat Provinsi Sulut, Penghargaan E-Procurment Award tahun 2014 dari Bappenas, atas pelaksanaan pengadaan barang dan jasa secara elektronik, Penghargaan Triseri and Tax Award dari Kementerian Keuangan RI  atas ketertiban administrasi dan kepatuhan penyetoran pajak ke kas Negara, Kota Kotamobagu masuk dalam zona hijau dalam penerapan Inpres Nomor 2 tahun 2014 tentang rencana dan aksi daerah untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah jejeran prestasi yang telah diraih 2 tahun Pemerintahan TB-JaDi.   
 
Pun disamping itu pula, Pemerintahan Kotamobagu mengoleksi sejumlah prestasi yang kurang bersinar dan kontroversial, semisal tragedy deposito di  BRI cabang Kotamobagu yang berimbas hutang pada pihak ketiga, pelebaran jalan di bilangan kelurahan Kotobangon – Moyag yang bersumber dari APBN tanpa upaya ganti rugi tanah, pembangunan pasar 23 Maret yang tak kunjung rampung.   
 
Melihat pada sejumlah  prestasi  2 tahun belakangan itu maka jujur saya katakan   kurang membawa dampak positif pada masyarakat Kotamabagu.  
 
Soal Ujian kedua Sejauh mana kemajuan visi kota model jasa bisa di capai ? untuk menjawabnya maka takarannya mengambil data Kotamobagu dalam angka yakni tingkat perkembangan sektor tersier (baca : jasa keuangan, real estate, jasa perusahaan, jasa perhotelan/restoran, jasa konstruksi, jasa-jasa) yang dirilis Badan Pusat Statistik Kotamobagu.  Kontribusi sektor ini  2013 saat dilantiknya Ir Tatong Bara menjadi Walikota Kotamobagu secara akumulasi mencapai 27, 1 %.   
 
Adapun tahun 2014 secara agregat persentase perkembangan sektor tersier  ini mencapai angka 32.085 %. Bila ditelusuri secara cermat, sumbangan terbesar  dari sektor tersier ini yang naik cukup tajam  berasal dari sektor jasa keuangan sebagai dampak kehadiran 20 bank swasta.   
 
Sektor jasa-jasa sendiri dalam pengertian sektor rill sebenarnya masih stag, alias jalan ditempat dan belum menunjukan  kemajuan yang berarti.      
 
Mencermati pada jawaban dua soal essay yang telah dipaparkan, bisa dikatakan  lingkaran kerja-kerja Pemerintah Kotamobagu masih berkutat untuk membangun demarkasi citra positif pemerintahan.   
 
Dosis program kerja pemerintahan yang digulirkan sebelumnya dan nanti belum tepat, dan bisa di pastikan mayoritas bersifat rutinitas tahunan dan miskin inovasi.     
 
Kota model jasa adalah sebuah kota yang mirip dengan kota jasa dimana arus penggerak roda ekonominya adalah kegiatan usaha yang bersifat intangible (tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar dan diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi).   
 
Lebih rinci, jenis kegiatan usaha dimaksud seperti asuransi, usaha penyewaan, peƱata rias, usaha resparasi, konsultan, pengacara, dokter praktek, perbankkan, perhotelan dsb. Intinya jasa bukanlah produk fisik (barang) namun condong berbentuk layanan.   
 
Pada konteks ini,  sejatinya  perlu hadir kebijakan Pemerintah Kotamobagu yang mendorong tumbuh berkembangnya rupa-rupa usaha jasa sebagaimana di uraikan tadi.   
 
Celakanya sejauh ini belum ada satupun kebijakan, program dan kegiatan di lingkup Satuan Kerja Perangkat Daerah Kotamobagu yang terdengar gaungnya cukup keras dan mampu memberikan daya ungkit serta efek domino bagi pencapaian visi kota model jasa.   
 
Termasuk akan hal itu adalah empat program unggulan Pemerintah Kota Kotamobagu  di tahun 2016 nanti yakni Masyarakat Ekonomi Asean, Kawasan Strategis Nasional, Smart City dan One product one village.   
 
Bisa dikatakan. hilirisasi empat program kerja ini sangat buram dan sangat sulit diproyeksikan keterkaitannya dengan visi kota model jasa. 
 
Sehingga  pikiran nakal pun beterbangan, untuk apa capek-capek program kerja itu harus dikumandangkan ke mimbar publik jika tidak terkait erat dengan visi yang diusung.         
 
Situasi ini jelas sangat mengkhawatirkan dan diperkirakan visi kota model jasa berada pada titik kritis, tidak akan tercapai dan selesai dalam satu periode pemerintahan walikota terpilih.   
 
Nada pesimis yang meruyak itu seringkali mengundang perdebatan sengit di berbagai diskusi pendek yang selalu berakhir dengan jawaban yang tidak memuaskan.  
 
Sejatinya  harus segera di cari jalan keluar yang tepat dalam menjawab kebuntuan mencapai visi kota model jasa. Jelas, Kongkrit  dan Terukur Membumikan optimisme visi kota model jasa ditengah perlambatan ekonomi nasional bukan perkara mudah.   
 
Seandainya kewenangan walikota Kotamobagu setara dengan presiden Jokowi yakni membuat paket kebijakan moneter dan fiscal maka urusan mencapai visi kota model jasa terbilang enteng dan terbuka lebar.   
 
Sayangnya urusan moneter dan fiscal masih menjadi kewenangan pemerintah pusat, yang mustahil akan berpindah tangan ke bupati/walikota. Terlepas akan urusan moneter dan fiscal itu, di sisa waktu yang ada, Pemerintah Kota Kotamobagu seyogyanya harus lebih selektif meramu program kerja.   
 
Kriterianya, program kerja itu  harus jelas, kongkrit dan terukur, tidak  bersifat repetitif (pengulangan), padat karya serta mendorong berkembangnya jenis usaha jasa baru.  
 
Apa yang dilakukan Dinas Pertanian dan BP4K Kotamobagu menyangkut pengembangan pertanian organik adalah contoh program kerja yang jelas, kongkrit dan terukur.   
 
Komoditi yang dikembangkan cukup jelas dan kongkrit, target produksi bisa diukur, yang terpenting segmen pasar  yang dibidik pun terbuka lebar.    
 
Adapun jenis usaha jasa yang berkembang adalah toko penyedia pangan organic, produsen saprodi organic, industry rumahan pengolahan hasil  dll.
 
 
Sayangnya program kerja ini  berkesan masih di jalankan setengah hati, Takarannya sederhana, dukungan regulasi setingkat peraturan daerah dan atau peraturan walikota belum ada.  
 
Padahal Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/5/2013 tentang Sistim Pertanian Organik  serta Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian sudah memberikan signal positif peluang tumbuhnya dunia usaha  di daerah berbasis potensi lokal.
 
Mungkinkah Kepala Bagian Hukum perlu diberikan sedikit colekan dijidatnya karena menjadi biang kerok tersumbatnya regulasi tentang pengembangan pertanian organic di Kotamobagu.
 
Diluar itu, program kerja pembentukan badan usaha milik daerah berstatus perbankkan yang 100 % sahamnya milik pemerintah daerah dapat dipertimbangkan untuk diadopsi.   
 
Alasannya,  benih-benih usaha jasa akan berkembang pesat di Kotamobagu jika di topang kucuran kredit lunak.  Sementara itu di ujung lain, sebenarnya  sektor jasa keuangan sudah menggurita dengan hadirnya 20 perbankan di wilayah Kotamobagu. 
 
 
Namun sayangnya Pemerintah Kotamobagu memiliki keterbatasan dalam mengintervensi langsung pada bank-bank tersebut menyangkut  urusan kredit usaha.   
 
Untuk itu walau sebenarnya program ini sangat terlambat jika di agendakan sekarang, ikhtiar ini wajib dilakukan  agar  celah pengembangan ekonomi daerah ke depan mendapat ruang yang cukup lapang.
 
Kesimpulan  
 
Akhirnya, secara obyektif nilai raport kerja Walikota Kotamobagu di dua belakangan sesungguhnya masih berada pada zona merah.   
 
Jangan sampai ungkapan buruk muka cermin di belah harus hadir di penghujung masa pemerintahan  karena itu cuma menunjukkan nalar   pendek  yang memberikan alasan bagi masyarakat Kotamobagu untuk tidak memilih lagi di perhelatan pemilukada nantinya.     
 
Bagikan artikel ini