-->

Selasa, September 22, 2015

HALUSINASI SATU DESA SATU PRODUK

ovop
Tagline iklan salah satu perusahaan elektronik, “Cintailah produk-produk Indonesia” bukanlah sesuatu yang asing kita dengar. 
 
Hampir di setiap jeda komersil salah satu statisun TV terkemuka di Indonesia menayangkan kata-kata tersebut dengan dialek tak fasih. 
 
Mungkin ini menjadi salah satu sumber ide Walikota Kotamobagu mengusung konsep one product one village (satu desa satu produk) tanpa tedeng aling-aling sebagaimana di lansir oleh beberapa media cetak. 
 
Sayangnya, sejauh ini produk lokal dalam negeri masih sering dianggap sebagai stereotipe yang kualitasnya abal-abal, tidak hygienes, jelek, dan tak patut di lirik. Takarannya, tak bisa dipungkiri proses pembuatan produk lokal itu sendiri cenderung masih kedap dengan sentuhan teknologi sehingga hasil akhirnya pun terbilang pas-pasan. 

Bila ditelusuri secara cermat, ada dua pandangan dalam menakar konsep one product one village ini, pertama setiap desa diarahkan untuk menghasilkan produk berupa barang, dan kedua setiap desa diarahkan untuk menghasilkan satu jenis produk jasa.  

Baca juga 
Cara cepat mengurangi silpa apbd yang besar
Apa yang disebutkan terakhir, hampir mustahil dapat dilakukan musababnya Kotamobagu lebih dikenal karena produk barang (gula aren, beras, kopi, kacang goyang) bukan produk jasa. 

Adalah tidak logis konstruksi berpikir satu desa mengembangkan satu jenis produk jasa tertentu, semisal desa Poyowa Besar di arahkan masyarakatnya untuk berprofesi sebagai tukang gunting rambut, desa Sia untuk urusan pijat memijat dsb. Jika skenario itu dipaksakan terjadi, ini sama halnya memaksa perekonomian Kotamobagu jatuh terjerembab ke titik nadir kesemerawutan dan keterpurukan ekonomi yang serius. 

Terlepas dari keterpurukan itu, diakui membangun kemandirian ekonomi daerah merupakan sebuah pekerjaan yang sangat tidak mengasyikan untuk dipikul sendirian. Hal ini butuh kerja sama dari semua pemangku kepentingan baik itu masyarakat maupun pemerintah. 

Jika semua pemangku kepentingan itu mampu bersatu dibawah bendera satu visi dan misi yang sama maka sudah pasti takdir kemandirian ekonomi bisa diraih. 

Pada titik ini kemandirian ekonomi akan tercermin dari sirkulasi perputaran produk lokal yang cukup mencengangkan dan menjanjikan. Untuk itu seyogyanya membumikan produk lokal disetiap desa tidak bisa langsung mencangkup daerah dalam skala luas. Ini penting untuk disadari walikota, karena sejatinya di setiap desa harus ada sosok yang memprakarsai masyarakat ke arah di maksud. 

Untuk yang terakhir ini, seharusnya ini adalah tugas pemerintah, atau tepatnya kepala dusun, kepala desa dan turunannya. Paling tidak mereka tidak mempersulit warga masyarakatnya yang punya ikhtiar berusaha mengembangkan produk lokal. 

HALUSINASI PEMERINTAH 

Lebih lanjut, pertanyaan menggelitiknya, produk apa sebenarnya yang menjadi incaran untuk dikembangkan di wilayah kotamobagu ? Jawaban pertanyaan ini adalah semua potensi disektor apapun, terutama sektor unggulan di desa itu. Misalnya, di desa Moyag karena banyak pohon arennya maka yang dikembangkan adalah industri gula merah. 

Pun di daerah poyowa besar karena lokasi perkebunannya berada di pinggir sungai mo;ayat maka sangat cocok untuk pengembangan produk olahan ikan air tawar atau komoditi agronomi lainnya. 

Tidak berbeda dengan desa-desa yang ada di Kec. Kotamobagu Utara, potensi yang bisa dijadikan andalan dalam program one produk one village adalah produk olahan kopi, industry kreatif furniture berbahan batang kopi. 


Celakanya, semua yang dipaparkan secara gamblang tadi, jauh dari tafsir visi model jasa dan lebih cocok untuk visi agropolitan yakni sebuah kota yang dibangun dan dikembangkan berbasis komoditi pertanian. Sehingga itu sisi buruknya visi kota model jasa dibuang saja ke laut dan diganti dengan visi agropolitan. 

Tak bisa di pungkiri sejauh ini, tanda-tanda vital menuju tafsir kota model jasa masih sangat buram dan temaram bahkan loyo. Crash program semisal kredit lunak bagi pelaku-pelaku usaha yang menjadi efek pengungkit menuju kota model jasa tidak pernah terdengar gaungnya. 

Diluar potret visi kota model jasa yang buram itu, Pemerintah Kota Kotamonbagu perlu memutar otak berkali-kali sebelum menerapkan konsep one product one village dengan menjawab 2 pertanyaan penting.  

Pertama, bagaimana tindak lanjut Pemerintah Kotamobagu menyangkut pemasaran produk yang ada di tiap desa ? adakah lembaga, perusahaan yang bersedia menampung produk-produk itu ? Jangan sampai produk lokal menumpuk bergunung-gunung sebab tidak terserap pasar sementara  di ujung lain masyarakat sudah pasti akan nombok, menutup semua faktor produksi yang telah terpakai sebelumnya. 

Pertanyaan kedua, berapa banyak jenis produk yang akan dihasilkan di wilayah Kotamobagu ? Pada titik ini, mengingat jumlah desa yang ada di Kotamobagu 15 desa, maka saya optimis besar kemungkinannya jumlah produk itu 15 jenis. 

Namun untuk alasan keterbatasan anggaran dari APBD maka jumlah 15 jenis produk saya asumsikan tergelincir tajam ke angka 3 – 4 jenis. Kalau proyeksi saya itu tepat, maka sebetulnya Pemerintah Kota Kotamobagu tidak perlu lagi mengusung konsep one produk one village, sebab 3 - 4 produk itu telah ada dalam pusaran ekonomi Kotamobagu (baca : kacang goyang, kopi, gula merah, beras). 

Ide mengusung one produk one village di paruh waktu Pemerintahan TB-Jadi yang 22 September lalu genap 2 tahun, rasanya sebuah halusinasi dan merupakan ide omong kosong, sebuah jurus pamungkas membangun demarkasi baru untuk mendulang simpati semata. 

Bukan tanpa alasan hal itu saya lontarkan, berkaca pada industry pengolahan coklat di bilangan desa Poyuyanan yang mati suri karena persoalan pemasaran yang cak beres maka tak ditabukan konsep  one produk one village takdirnya tidak akan berbeda jauh, megap-megap di dera pelbagai masalah. 

Ini akan berakhir antiklimaks yang akan memperteguh stigma negatif bahwa Walikota  tidak fokus dan gagal mengemban visi kota model jasa yang diusungnya. 

Wajar jika nantinya rakyat Kotamobagu pada periode Pemilukada nantinya, ramai-ramai berpindah haluan mendukung calon walikota yang baru dan dianggap konsisten, kekeh  memperjuangkan visinya. Semoga
Baca juga
Bagikan artikel ini