-->

Selasa, Januari 22, 2013

MISTERI ANGKA 23


Pikiranku
Wow” begitulah sekelebat kata yang terlintas dalam otak kewarasan saya setelah membaca jumlah bakal calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Kotamobagu yang telah mendaftar lewat jalur PDIP menyentuh level 23 kandidat. 
 
Bila di bandingkan dengan partai Golkar yang hanya di minati oleh 6 bakal calon wakil walikota maka partai moncong putih terbilang laris manis, ibarat seorang gadis cantik yang banyak dilirik oleh para “Nyong” (pemuda) yang berniat untuk menjadi kekasihnya.
Teringat semasa dulu masih duduk di bangku kuliah, menukil pernyataan salah seorang dosen saya “ Story behind of number” yang secara gamblang menyatakan bahwa di balik sebuah angka sesungguhnya menyimpan sebuah misteri.

Tentunya misteri di maksud bukanlah sebuah mitos ibarat misteri rumah hantu dan sejenisnya yang banyak di tayangkan di berbagai sinetron fiksi. Rasa penasaran pun mulai menelisik kewarasan saya untuk membuktikan pernyataan dosen saya itu. 
 
Misteri  apa yang sesungguhnya yang ada di balik sebuah angka khususnya angka 23 ? 
 
Alih-alih dengan bermodal segepok berita di sejumlah media, resume perbincangan dengan beberapa kandidat bakal calon walikota dan wakil walikota Kota Kotamobagu di beberapa kesempatan pertemuan dengan mereka, sebut saja Ir. Hj Tatong Bara, Benny Ramdhani, Drs, Djelantik Mokodompit dsb maka saya berkesimpulan bahwa di pilihnya moncong putih atau Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan besutan ibu Megawati ini oleh sejumlah bakal Calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Kotamobagu karena partai ini tidak mencalonkan sosok figur tunggal yang ditetapkan melalui mekanisme Musyawarah Daerah sebagaimana pada partai Golkar. 
 
Mekanisme partai melalui alat survey menjadi penentu siapa yang akan di usung oleh PDIP.
 
Tanpa bermaksud mengkultuskan, angka 23 menunjukkan makin tingginya animo masyarakat untuk berpartisipasi dalam perhelatan politik pilwako. 

Modal alat peraga “baliho”, tebar pesona  melalui sejumlah hajatan masyarakat merupakan alat yang di anggap mumpuni sejumlah kandidat untuk mendongkrak popularitas. "Apa iya ???   

Belum lagi anjang sana-sini di berbagai kegiatan sosial untuk sekedar mendapat cap di jidat "perhatian" menjadi rutinitas yang banyak dilakukan sejumlah bakal calon walikota dan wakil walikota Kota Kotamobagu.  

Tidak kalah pula lagi penggunaan simbol-simbol tertentu seperti baju kotak-kotak ala “Jokowi” Gubernur DKI Jakarta di anggap akan turut berandil peran meraup suara yang signifikan. Untuk yang terakhir ini saya “Setuju” dalam konteks pembentukan citra diri. 
 
Belajar dari pengalaman pemilihan Gubernur Gorontalo Fadel Muhamad yang berhasil meraup 80% suara, begitupun pada perhelatan pemilihan Gubernur Sulawesi Utara periode ke 2 Dr. S.H Sarundayang yang begitu telak mengalahkan kandidat lainnya dengan perolehan suara  80 %. 

Tak ketinggalan yang masih segar dalam ingatan kita saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta dimana sang Walikota Solo berhasil mengalahkan incumbent “Foke” dengan perolehan 46 % suara. 

Pertanyaan sederhananya apa yang mereka telah lakukan sehingga berhasil menang dalam pertarungan politik ? Cukup sederhana untuk menjawab hal ini, mereka telah banyak berbuat untuk masyarakat, Fadel Muhamad dengan program agropolitannya. 
 
Sarundayang dengan kesuksesan WOC, sail bunaken, Jokowi dengan penataan pedagang tanpa menggusur. Intinya bahwa ketiganya berhasil membangun komunikasi 2 arah dengan rakyatnya. 

Soemarno Soedarsono dalam bukunya “Hasrat untuk Berubah” mengatakan bahwa ada 5 syarat untuk menjadi seorang pemimpin :
  1. Apakah Anda mampu menegur tanpa menimbulkan kemarahan?
  2. Apakah Anda mampu menolak tanpa mengecilkan arti?
  3. Apakah Anda mampu tertawa bersama bila kelucuan itu menyangkut diri Anda sendiri?
  4. Apakah Anda mampu memelihara semangat jika menghadapi suatu kegagalan?
  5. Apakah Anda mampu tenang jika harus menghadapi situasi darurat?
Guna membuktikan kelima syarat ini apakah telah dimiliki oleh para bakal calon Walikota dan Walikota Kota Kotamobagu adalah dengan berdialog secara langsung. 

Kalaupun tidak bisa karena keterbatasan akses, maka perhatikan rekam jejak yang telah mereka lakukan, bagaimana cara mereka lakukan. Sebagai referensi saya contohkan kasus pasar 23 Maret ketika kritik terhadap walikota begitu dahsyatnya berdatangan atas kebijakan penggusuran pasar, reaksi walikota justru menyerang balik (point no.3 tidak terpenuhi).
 
Belum lagi saran untuk rehabilitasi bangunan mesjid Baitul Makmur di tolaknya mentah-mentah (point no. 2 tidak terpenuhi). 
 
Saya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah kata, seyogyanya seorang pemimpin janganlah merasa pintar tapi pintar-pintarlah merasa.
Bagikan artikel ini